Kategori: Sejarah

Kerajaan Hindu-Budha Di Indonesia

Kerajaan Hindu-Budha Di Indonesia

Kerajaan Hindu-Budha Di Indonesia

Kerajaan Hindu-Budha di Indonesia – Sebelum merdeka, Indonesia adalah negara yang terdiri dari kerajaan-kerajaan dengan berlatarbelakang agama dan aliran. Salah satuna Kerajaan Hindu Budha. Kerajaan Hindu Budha di Indonesia jadi salah satu yang terkuat.

Sejarah nusantara pada zaman kerajaan Hindu Buddha berkembang karena adanya hubungan dagang di wilayah Nusantara dengan sejumlah negara luar. Diantaranya India, Tiongkok dan negara-negara di wilayah Timur Tengah.

Hindu masuk ke Indonesia pada periode tarikh Masehi yang dibawa oleh para musafir dari India yang bernama Maha Resi Agastya. Sedangkan penyebaran Buddha di Indonesia dilakukan oleh bangsa Indonesia yang belajar di India dan menjadi Bikhsu.

Berikut kerjaan Hindu Buddha yang pernah berkuasa di Indonesia atau Nusantara:

1. Kerajaan Kutai

Berada di Hulu Sungai Mahakam, Kabupaten Muarakaman, Kalimantan Timur. Kerajaan Kutai merupakan kerajaan Hindu tertua di Indonesia yang berdiri pada abad ke-4.

Beberapa sumber sejarah menyatakan bahwa kerajaan ini pernah dipimpin 5 raja. Diantara raja yang pernah memimpin yakni Kudungga, Aswawarman dan Mulawarman (Raja Terbesar).

Peninggalan sejarah berupa prasasti bertulis dan berbentuk Yupa (tugu batu untuk menambatkan hewan kurban), dengan huruf Pallawa, Bahasa Sanskerta, Arca Bulus dan 12 batu dan kalung cina emas.

2. Kerajaan Tarumanegara

Dalam catatan sejarah, Kerajaan Tarumanegara merupakan salah satu kerajaan tertua di Indonesia dan terbesar di Nusantara pada masa jayanya.

Catatan pada prasasti sejarah peninggalan Tarumanegara di Kebon Kopi dan Ciaruteun menyebut kerajaan Tarumanegara berdiri pada abad 4 atau 5 masehi.

Kerajaan yang didirikan oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman memiliki daerah kekuasaan mulai dari Banten, Jakarta, hingga Cirebon.

Masa keemasan kerajaan Tarumanegara berada saat pemerintahan Purnawarman. Prasasti kerajaan Tarumanegara tersebar di Bogor (Muara Cianten, Jambu, Kebon Kopi, Ciaruteun, Pasir Awi), Jakarta (Tugu) dan Banten (Cidanghiang).

3. Kerajaan Kalinga

Pernah terbagi menjadi dua bagian yaitu Keling dan Medang, Kerajaan Kalingga merupakan kerajaan Budha pertama di pantai utara Pulau Jawa.

Berdiri pada abad ke-6 Masehi kerajaan ini juga dikenal sebagai Kerajaan Holing. Kerajaan ini muncul bersamaan dengan Kutai dan Tarumanegara.

Beberapa rajanya antara lain Raja Wasumurti, Raja Wasugeni, dan Raja Wasudewa. Beberapa peninggalan sejarah Kerajaan Kalingga ialah Prasasti Tukmas, Prasasti Upit, dan Candi Angin.

4. Kerajaan Mataram Hindu/Kuno

Kerajaan Hindu Buddha ini berkuasa pada abad ke 8 M di Jawa Tengah dan berpindah ke Jawa Timur pada abad ke 10 M. Pasalnya kerajaan ini berdiri sebagai penerus Kerajaan Kalingga.

Raja yang pernah berkuasa yakni Sanjaya/Rakai Pikatan, Pancapana/Rakai Panangkaran. Berdasarkan catatan sejarah, penduduk kerajaan ini beruntung di bidang pertanian, terutama padi dan bidang perdagangan maritim.

Bukti peninggalan sejarah kerajaan ini yakni Candi Borobudur, Prasasti Kedu, Prasasti Kalasan, Prasasti Canggal dan lain-lain.

5.Kerajaan Singsari

Kerajaan bercorak Hindu ini berada di Jawa Timur yang saat ini menjadi bagian wilayah Malang. Kerajaan ini didirikan oleh Ken Arok pada 1222. Nama resmi Kerajaan Singasari yakni Kerajaan Tumapel.

Tokoh ternama dari kerajaan ini adalah Ken Arok, Ken Dedes, Kertanegara, Wisnuwardhana, dan Kertanegara. Masa jaya pemerintahan Singasari berada di bawah pimpinan Kertanegara dengan operasi militer ‘Ekspedisi Pamalayu’.

Singasari mengalami kehancuran akibat dua hal yaitu tekanan luar negeri dan pemberontokan dalam negeri yang dilakukan Jayakatwang.

Kerajaan Singasari mempunyai peninggalan yang cukup tersohor yaitu Kitab Negarakertagama karya Empu Prapanca. Selain itu terdapat prasasti Godang di Mojokerto yang ditemukan di sebuah sawah.

7. Kerajaan Majapahit

Berdiri pada abad 13 yang didirikan Raden Wijaya di wilayah Jawa Timur (1293-1527 M). Kerajaan ini merupakan kerajaan terakhir yang menjadi saksi sejarah kerajaan Hindu Buddha di Indonesia.

Majapahit mencapai puncak kejayaannya menjadi kemaharajaan raya yang menguasai wilayah luas di Nusantara pada masa kepemimpinan Hayam Wuruk (1350-1389).

Kerajaan ini runtuh karena Perang Paregreg yakni perang saudara yang memperebutkan tahta kerjaan antara Wikramawardhana (menantu Hayam Wuruk) dan Bre Wirabumi (putra Hayam Wuruk dari istri selirnya).

Peninggalan sejarah kerajaan ini adalah Candi Cetho, Candi Sumberjati, Candi Jabung, Candi Tikus, Kitan Negara Kertagama, Kitab Sutasoma yang berisi semboyan Bhineka Tunggal Ika.

Cut Meutia (1870-1910) Pahlawan Perempuan Ahli Strategi Perang

Cut Meutia (1870-1910) Pahlawan Perempuan Ahli Strategi Perang

Cut Meutia (1870-1910) Pahlawan Perempuan, juga disebut Cut Nyak Meutia adalah puteri Teuku Ben Wawud, ulebalang Perak, Aceh. Ia lahir pada tahun 1870 yaitu 3 tahun sebelum perang Aceh Meletus.

Cut Meutia turut mempertaruhkan nyawanya demi mengusir penjajah Belanda. Bahkan, sejak kecil, ia sudah dididik untuk memahami soal agama dan ilmu berpedang.

Semasa hidup, Cut Meutia dikenal sebagai ahli pengatur strategi pertempuran. Taktiknya sering kali memporak-porandakan pertahanan militer Belanda.

Salah satu taktik yang pernah ia gunakan adalah taktik serang dan mundur, serta menggunakan prajurit memata-matai gerak gerik pasukan lawan. Meski sempat dibujuk untuk menyerah, Cut Meutia tetap memilih berperang.

Kehidupan

Cut Nyak Meutia atau Cut Meutia lahir di Aceh, 15 Februari 1870. Cut Meutia merupakan satu-satunya anak perempuan dari pasangan Teuku Ben Daud Pirak dan Cut Jah.

Orang tuanya merupakan keturunan Minangkabau asal Sijunjung, Sumatera Barat.

Waktu menjelang dewasa ia dipertunangkan dengan Teuku Syam Sareh, seorang dari 3 anak angkat Cut Nyak Aisah. Pertunagan ini ditetapkan oleh orang tua kedua belah pihak tanpa sepengetahuan yang bersangkutan.

Meskipun kemudian mereka itu dikawinkan, namun Cut Meutia tidak mau menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri. Oleh karenanya mereka bercerai.

Kemudian Cut Meutia menikah dengan adik Syam Sareh, yaitu Teuku Cut Muhammad yang kemudian bergelar Teuku Cik Tunong. Suami isteri ini dalam hidupnya Bersatu dengan perjuangan rakyat Aceh yang disebut rakyat muslimin untuk menentang penjajahan Belanda.

Bersama suami keduanya, pada 1899, Chik Muhammad memimpin serangan melawan Belanda. Awalnya, pasukan Belanda kebingungan harus berbuat apa. Namun, dua tahun berikutnya, Chik Muhammad bersama pasukannya tidak lagi bergerak.

Belanda mengira mereka sudah kehilangan semangat untuk melakukan perlawanan. Namun, pada 1901, Chik Muhammad kembali melakukan serangan mendadak dan berhasil menghancurkan pertahanan Belanda di sana.

Atas keberhasilannya ini, Teuku Chik Muhammad diangkat menjadi Bupati Keureutoe oleh Sultan Aceh. Pada 1905, Chik Muhammad ditangkap oleh Belanda. Ia dimasukkan ke dalam penjara dan ditembak mati oleh pasukan Belanda.

Setelah suami kedua meninggal, Cut Meutia menikah lagi dengan Pang Nanggroe. Dengan suami ketiganya ini akhirnya mereka melanjutkan melawan penjajahan Belanda.

Ia bersama Pang Nanggroe bergabung dengan pasukan lainnya di bawah pimpinan Teuku Muda Gantoe.

Cut Meutia dan Pang Naggroe saling bahu membahu melawan Belanda.

Perjuangan

Namun, di suatu pertempuran dengan Korps Marechausee, satuan militer bentukan kolonial Hindia Belanda, di Paya Ciem. Cut Meutia bersama para wanita lain melarikan diri ke hutan.

Pang Nanggroe yang tidak ikut mundur. Ia terus bertahan dengan maksud melindungi kaum Wanita jangan sampai menjadi perhatian dan serangan musuh.

Pasukan Marsose makin dekat, namun Pang Nanggroe tidak beranjak dari tempatnya berjuang. Akhirnya pada tanggal 26 September 1910 dari jarak yang amat dekat Pang Nanggroe ditembak musuh tepat pada dadanya.

Mengetahui hal tersebut, Cut Meutia bermufakat, lalu berangkat ke Gayo untuk menggabungkan diri dengan pasukan lain-lainnya.

Cut Meutia menyerang dan merampas pos-pos kolonial sambil bergerak menuju Gayo melintasi hutan belantara.

Akhir Hidup

Di persimpangan Krueng Peutoe, yaitu di Alue Kurieng, rombongan itu berhenti untuk menanak nasi. Disanalah mereka dengan mendadak diserang oleh pasukan Christoffel.

Secepatnya pasukan muslimin yang sudah amat kecil kekuatannya itu siap menghadapi lawan. Pada pertempuran itulah Cut Meutia ditembak kakinya dan terus terduduk ditanah.

Cut Meutia tidak menyerah, bahkan dengan pedang terhunus ia terus mengadakan perawanan hingga ia terbunuh oleh musuh.

Sebelum gugur Cut Meutia sempat berpesan kepada Teuku Syekh Buwah yang berada didekatnya. Katanya dengan pendek, ‘’Selamatkanlah anakku, Raja Sabi. Aku serahkan dia ketanganmu’’.

Dan amanat itu dapat dilaksanakan dengan baik sehingga Teuku Raja Sabi, putra Cik Tunong dan Cut Meutia, selamat dan dapat mengalami kemerdekaan Indonesia.

Namun, dalam tahun 1946 ia mati terbunuh dalam apa yang disebut ‘’Revolusi sosial’’ di Sumatera Utara.

Pemerintah RI dengan SK Presiden RI No. 107/Tahun 1964 tanggal 2 Mei 1964 menganugerahi Cut Meutia gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

Tuanku Imam Bonjol dan Kisah Perjuangannya di Perang Padri

Tuanku Imam Bonjol dan Kisah Perjuangannya di Perang Padri

Tuanku Imam Bonjol adalah seorang ulama, pemimpin, dan pejuang yang turut berperang melawan belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri tahun 1803-1838. Ia lahir di i Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat, Indonesia 1 Januari 1772. Dan wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotta, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864.

Putra dari pasangan Bayanuddin Shahab (ayah) dan Hamatun (ibu) ini, bernama asli Muhammad Shahab. Ayahnya, Khatib Bayanuddin Shahab, merupakan seorang alim ulama yang berasal dari Sungai Rimbang.

Kisah Tuanku Imam Bonjol di Perang Padri

Melansir dari laman resmi Kabupaten Banjarnegara, Tuanku Imam Bonjol adalah seorang pahlawan yang dikenal berjuang di Perang Padri. Perang tersebut terjadi selama 18 tahun dan meninggalkan luka bagi orang Minang dan Mandailing atau Batak pada umumnya.

Perang ini terjadi karena keinginan di kalangan pemimpin ulama di kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah (Sunni) yang berpegang teguh pada Al-Qur’an dan sunnah-sunnah Rasullullah shalallahu ‘alaihi wasallam.

Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam (bid’ah).

Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri (Penamaan bagi kaum ulama) dengan kaum adat. Seiring itu di beberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan pada akhirnya Kaum Padri di bawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubuk Jambi.

Di tanggal 21 Februari 1821, kaum Adat kemudian bekerja sama dengan pemerintahan Hindia Belanda. Berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang. Dari hasil perjanjian tersebut Belanda mendapatkan kompensasi atas penguasaan wilayah di pedalaman Minangkabau.

Akibat hasil perjanjian tersebut, pasukan padri melawan dengan tangguh. Kesulitan melawan pasukan Padri, Belanda melalui Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang pada tahun 1824.

Terjadi perubahan perang pada tahun 1833 dimana perang berubah menjadi antara kaum Adat dan kaum Paderi melawan Belanda. Kedua pihak bahu membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda.

Semakin lama Belanda semakin kuat dalam Perang Padri hingga pada Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol menyerah kepada Belanda. Menyerahnya Imam Bonjol diikut serta dengan kesepakatan bahwa anaknya yang ikut bertempur selama ini, Naali Sutan Chaniago, diangkat sebagai pejabat kolonial Belanda.

Beliau dibuang ke Cianjur, kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotta, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itu ia meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Kemudian dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut.

Atas jasa-jasanya dalam Perang Paderi, Tuanku Imam Bonjol diapresiasi atas jasa kepahlawanannya dalam melawan penjajahan. Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6 November 1973.

Sejarah Peringatan Hari Veteran Nasional

Sejarah Peringatan Hari Veteran Nasional

Sejarah Peringatan Hari Veteran – Hari Veteran Nasional diperingati pada 10 Agustus setiap tahun. Peringatan ini menjadi tanda penghargaan dan penghormatan dari pemerintah dan rakyat Indonesia kepada para pahlawan yang berjuang dalam rangka meraih Kemerdekaan RI.

Veteran menjadi sosok penting di balik perjuangan melawan penjajahan sebelum akhirnya meraih kemerdekaan. Untuk itulah pemerintah menetapkan tanggal 10 Agustus sebagai Hari Veteran Nasional.

Lalu, bagaimana asal muasal penetapan Hari Veteran Nasional? Simak informasinya berikut ini.

Sejarah Hari Veteran nasional

Hari Veteran Nasional diperingati untuk memberi tanda kehormatan kepada veteran RI sebagai pahlawan kemerdekaan. Dilansir situs resmi Kementerian Pertahanan (Kemhan) RI, peringatan Hari Veteran Nasional telah diatur dalam UU No. 15 tahun 2012 tentang Veteran Republik Indonesia.

Presiden Republik Indonesia juga telah menetapkan bahwa tanggal 10 Agustus sebagai Hari Veteran Nasional, namun bukan hari libur. Peringatan Hari Veteran Nasional dimaksudkan untuk mengenang gencatan senjata pada tanggal 10 Agustus 1949 setelah para Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia melawan Tentara Belanda.

Peringatan Hari Veteran Nasional ini pun telah dilaksanakan sejak tahun 2015 hingga saat ini untuk mengenang jasa Veteran Nasional dalam memperjuangkan Kemerdekaan RI.

Hak-hak Veteran Nasional

Hari Veteran Nasional 2022 yang tertuang dalam UU No.15 Tahun 2012 tentang Veteran Republik Indonesia, ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 2014 untuk menekankan veteran Indonesia yang kini bisa memperoleh hak-haknya dan dijamin oleh negara.

Berikut hak-hak para veteran:

  1. Tunjangan veteran (Tuvet) yang diberikan bervariasi sesuai dengan golongannya
  2. Dana kehormatan veteran (Dahor)
  3. Dana bantuan kesehatan
  4. Tunjangan bagi janda, duda atau anak yatim veteran
  5. Santunan cacat, tunjangan cacat dan alat bantu untuk tubuh veteran.

Jenis-jenis Veteran Indonesia

Jenis veteran Republik Indonesia ditentukan berdasarkan peristiwa Keveteranan. Secara umum, ada tiga tingkatan veteran sebagai berikut:

  1. Veteran Perjuang Kemerdekaan Republik Indonesia
    Mereka yang berjuang pada periode 17 Agustus 1945-27 Desember 1949 dengan pembagian golongan:
    – Golongan A berjuang minimal 4 Tahun
    – Golongan B berjuang minimal 3 Tahun
    – Golongan C berjuang minimal 2 Tahun
    – Golongan D berjuang minimal 1 Tahun
    – Golongan E berjuang 6 bulan.
  2. Veteran Pembela Trikora
    Mereka yang berjuang pada periode 19 Desember 1961-01 Mei 1963) dengan pembagian golongan:
    – Golongan A berjuang minimal 18 bulan
    – Golongan B berjuang minimal 12 bulan
    – Golongan C berjuang minimal 6 bulan
    – Golongan D berjuang minimal 3 bulan
    – Golongan E berjuang ≤ 3 bulan
  3. Veteran Pembela Dwikora
    Mereka yang berjuang pada periode 3 Mei 1964-11 Agustus 1966 dengan pembagian golongan:
    – Golongan A berjuang minimal 27 bulan
    – Golongan B berjuang minimal 18 bulan
    – Golongan C berjuang minimal 12 bulan
    – Golongan D berjuang minimal 6 bulan
    – Golongan E berjuang minimal 3 bulan
  4. Veteran Pembela Seroja
    Mereka yang berjuang pada periode 21 Mei 1975-17 Juli 1976 dengan pembagian golongan:
    – Golongan A berjuang minimal 14 bulan
    – Golongan B berjuang minimal 12 bulan
    – Golongan C berjuang minimal 9 bulan
    – Golongan D berjuang minimal 6 bulan
    – Golongan E berjuang minimal 3 bulan
  5. Veteran Perdamaian
    Berdasarkan mandat dari PBB.

Demikian informasi Hari Veteran Nasional 2022 lengkap dengan serba-serbi veteran di Indonesia. Semoga bermanfaat dan dapat menambah wawasan kamu!

Sejarah, Kehidupan, Raja-raja, dan keruntuhan Dinasti Goryeo

Sejarah, Kehidupan, Raja-raja, dan keruntuhan Dinasti Goryeo

Dinasti Goryeo adalah dinasti yang didirikan oleh Wang Geon atau Raja Taejo di Songdo (sekarang Kaesong), Korea Selatan, pada tahun 918. Dinasti ini menggabungkan Tiga Kerajaan Akhir Korea dengan menguasai Silla dan menumbangkan Baekje Akhir (Hubaekje) pada 935.

Nama Goryeo, merupakan singkatan dari Goguryeo, nama dinasti yang berkuasa antara 37 SM – 667 M. Selama berkuasa hingga akhir abad ke-14, Dinasti Goryeo menghasilkan beberapa penemuan penting, seperti alat cetak pertama di dunia dan Tripitaka Koreana atau kitab suci Buddha yang diukir dalam 80.000 blok cetak kayu.

Sejarah Goryeo

Pada akhir abad ke-9, Silla dan Balhae sedang mengalami kekacauan akibat konflik internal kerajaan. Di Kerajaan Silla, terjadi perebutan takhta yang mengakibatkan guncangan politik dan meletusnya pemberontakan petani serta munculnya pemimpin pemberontakan di daerah-daerah.

Sedangkan Balhae menghadapi krisis dan tekanan dari Dinasti Liao, yang memimpin Kerajaan Khitan, dari wilayah sebelah utara China.

Pada akhirnya, Balhae berhasil dikuasai oleh Dinasti Liao. Adanya konflik di dua kerajaan itu pada abad ke-10, muncul gerakan kebangkitan dari bekas orang-orang Baekje dan Goguryeo. Gerakan itu yang kemudian mengantarkan pada periode Kerajaan Baru dalam sejarah Korea.

Salah satu pemimpin gerakan adalah seorang tokoh militer bernama Wang Geon, yang mendirikan kekuatan baru bernama Goryeo. Wang Geon kemudian mengikutsertakan para jenderal lain untuk berpartisipasi dalam politik pemerintahan.

Lahirnya Dinasti Goryeo pada 918 menandai akhir dari Periode Negara Selatan dan Utara, serta dimulainya unifikasi Korea yang sesungguhnya.

Kehidupan pada masa Goryeo

Setelah berdirinya Dinasti Goryeo, wilayah kerajaannya mengalami perkembangan. Masyarakat Goryeo adalah masyarakat pertanian yang kemudia mampu berproses dalam teknik pertaniannya.

Keterampilan bertani yang baru dan konstruksi saluran irigasi, memainkan peran penting dalam memajukan efisiensi dan produktivitas pertanian di wilayah Goryeo.

Konfusianisme, Buddhisme, dan Taoisme berpengaruh besar dalam kepercayaan masyarakatnya. Nilai konfusianisme berpengaruh dalam kehidupan politik Goryeo, sedangkan Taoisme dan Buddhisme berpengaruh dalam bentuk ritual dan penghormatan kepada leluhur.

Raja-raja Goryeo

  • Taejo (918–943)
  • Hyejong (943–945)
  • Jeongjong (945–949)
  • Gwangjong (949–975)
  • Gyeongjong (975–981)
  • Seongjong (981–997)
  • Mokjong (997–1009)
  • Hyeonjong (1009–1031)
  • Deokjong (1031–1034)
  • Jeongjong (1034–1046)
  • Munjong (1046–1083)
  • Sunjong (1083)
  • Seonjong (1083–1094)
  • Heonjong (1094–1095)
  • Sukjong (1095–1105)
  • Yejong (1105–1122)
  • Injong (1122–1146)
  • Uijong (1146–1170)
  • Myeongjong (1170–1197)
  • Sinjong (1197–1204)
  • Huijong (1204–1211)
  • Gangjong (1211–1213)
  • Gojong (1213–1259)
  • Wonjong (1259–1274)
  • Chungnyeol (1274–1308)
  • Chungseon (1308–1313)
  • Chungsuk (1313–1330; 1332–1339)
  • Chunghye (1330–1332; 1339–1344)
  • Chungmok (1344–1348)
  • Chungjeong (1348–1351)
  • Gongmin (1351–1374)
  • U (1374–1388)
  • Chang (1388–1389)
  • Gongyang (1389–1392)

Runtuhnya Goryeo

Selama berdiri hingga 1392, dinasti ini sudah terlibat dalam beberapa pergolakan dengan kekuatan besar. Misalnya pada 1231, Goryeo diserang oleh bangsa Mongol. Peperangan di antara keduanya berlangsung selama bertahun-tahun.

Menjelang akhir abad ke-14, Dinasti Goryeoruntuh seiring dengan terjadinya perang selama bertahun-tahun dan pendudukan kekaisaran Mongolia.

Selain itu munculnya Dinasti Ming di China memengaruhi situasi politik di Goryeo, yang pada akhirnya pecah menjadi dua kekuatan politik.
Kelompok reformis pertama dipimpin Jenderal Yi Seong Gye (didukung oleh Ming) dan kelompok kedua adalah Jenderal Choe (didukung oleh Yuan dari China).

Pada tahun 1388, Yi Seong Gye dan Jeong Do Jeon mengerahkan pasukan mereka dan melakukan kudeta. Ia mambunuh penguasa Goryeo, Raja U atau Woo, serta menyingkirkan Jeong Mung Ju, seorang pemimpin kelompok yang setia pada Goryeo. Dengan begitu, Dinasti Goryeo runtuh dan digantikan oleh Dinasti Joseon yang didirikan oleh Yi Seong Gye.

Exit mobile version