Kategori: Pahlawan

Cut Meutia (1870-1910) Pahlawan Perempuan Ahli Strategi Perang

Cut Meutia (1870-1910) Pahlawan Perempuan Ahli Strategi Perang

Cut Meutia (1870-1910) Pahlawan Perempuan Ahli Strategi Perang

Cut Meutia (1870-1910) Pahlawan Perempuan, juga disebut Cut Nyak Meutia adalah puteri Teuku Ben Wawud, ulebalang Perak, Aceh. Ia lahir pada tahun 1870 yaitu 3 tahun sebelum perang Aceh Meletus.

Cut Meutia turut mempertaruhkan nyawanya demi mengusir penjajah Belanda. Bahkan, sejak kecil, ia sudah dididik untuk memahami soal agama dan ilmu berpedang.

Semasa hidup, Cut Meutia dikenal sebagai ahli pengatur strategi pertempuran. Taktiknya sering kali memporak-porandakan pertahanan militer Belanda.

Salah satu taktik yang pernah ia gunakan adalah taktik serang dan mundur, serta menggunakan prajurit memata-matai gerak gerik pasukan lawan. Meski sempat dibujuk untuk menyerah, Cut Meutia tetap memilih berperang.

Kehidupan

Cut Nyak Meutia atau Cut Meutia lahir di Aceh, 15 Februari 1870. Cut Meutia merupakan satu-satunya anak perempuan dari pasangan Teuku Ben Daud Pirak dan Cut Jah.

Orang tuanya merupakan keturunan Minangkabau asal Sijunjung, Sumatera Barat.

Waktu menjelang dewasa ia dipertunangkan dengan Teuku Syam Sareh, seorang dari 3 anak angkat Cut Nyak Aisah. Pertunagan ini ditetapkan oleh orang tua kedua belah pihak tanpa sepengetahuan yang bersangkutan.

Meskipun kemudian mereka itu dikawinkan, namun Cut Meutia tidak mau menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri. Oleh karenanya mereka bercerai.

Kemudian Cut Meutia menikah dengan adik Syam Sareh, yaitu Teuku Cut Muhammad yang kemudian bergelar Teuku Cik Tunong. Suami isteri ini dalam hidupnya Bersatu dengan perjuangan rakyat Aceh yang disebut rakyat muslimin untuk menentang penjajahan Belanda.

Bersama suami keduanya, pada 1899, Chik Muhammad memimpin serangan melawan Belanda. Awalnya, pasukan Belanda kebingungan harus berbuat apa. Namun, dua tahun berikutnya, Chik Muhammad bersama pasukannya tidak lagi bergerak.

Belanda mengira mereka sudah kehilangan semangat untuk melakukan perlawanan. Namun, pada 1901, Chik Muhammad kembali melakukan serangan mendadak dan berhasil menghancurkan pertahanan Belanda di sana.

Atas keberhasilannya ini, Teuku Chik Muhammad diangkat menjadi Bupati Keureutoe oleh Sultan Aceh. Pada 1905, Chik Muhammad ditangkap oleh Belanda. Ia dimasukkan ke dalam penjara dan ditembak mati oleh pasukan Belanda.

Setelah suami kedua meninggal, Cut Meutia menikah lagi dengan Pang Nanggroe. Dengan suami ketiganya ini akhirnya mereka melanjutkan melawan penjajahan Belanda.

Ia bersama Pang Nanggroe bergabung dengan pasukan lainnya di bawah pimpinan Teuku Muda Gantoe.

Cut Meutia dan Pang Naggroe saling bahu membahu melawan Belanda.

Perjuangan

Namun, di suatu pertempuran dengan Korps Marechausee, satuan militer bentukan kolonial Hindia Belanda, di Paya Ciem. Cut Meutia bersama para wanita lain melarikan diri ke hutan.

Pang Nanggroe yang tidak ikut mundur. Ia terus bertahan dengan maksud melindungi kaum Wanita jangan sampai menjadi perhatian dan serangan musuh.

Pasukan Marsose makin dekat, namun Pang Nanggroe tidak beranjak dari tempatnya berjuang. Akhirnya pada tanggal 26 September 1910 dari jarak yang amat dekat Pang Nanggroe ditembak musuh tepat pada dadanya.

Mengetahui hal tersebut, Cut Meutia bermufakat, lalu berangkat ke Gayo untuk menggabungkan diri dengan pasukan lain-lainnya.

Cut Meutia menyerang dan merampas pos-pos kolonial sambil bergerak menuju Gayo melintasi hutan belantara.

Akhir Hidup

Di persimpangan Krueng Peutoe, yaitu di Alue Kurieng, rombongan itu berhenti untuk menanak nasi. Disanalah mereka dengan mendadak diserang oleh pasukan Christoffel.

Secepatnya pasukan muslimin yang sudah amat kecil kekuatannya itu siap menghadapi lawan. Pada pertempuran itulah Cut Meutia ditembak kakinya dan terus terduduk ditanah.

Cut Meutia tidak menyerah, bahkan dengan pedang terhunus ia terus mengadakan perawanan hingga ia terbunuh oleh musuh.

Sebelum gugur Cut Meutia sempat berpesan kepada Teuku Syekh Buwah yang berada didekatnya. Katanya dengan pendek, ‘’Selamatkanlah anakku, Raja Sabi. Aku serahkan dia ketanganmu’’.

Dan amanat itu dapat dilaksanakan dengan baik sehingga Teuku Raja Sabi, putra Cik Tunong dan Cut Meutia, selamat dan dapat mengalami kemerdekaan Indonesia.

Namun, dalam tahun 1946 ia mati terbunuh dalam apa yang disebut ‘’Revolusi sosial’’ di Sumatera Utara.

Pemerintah RI dengan SK Presiden RI No. 107/Tahun 1964 tanggal 2 Mei 1964 menganugerahi Cut Meutia gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

Tuanku Imam Bonjol dan Kisah Perjuangannya di Perang Padri

Tuanku Imam Bonjol dan Kisah Perjuangannya di Perang Padri

Tuanku Imam Bonjol dan Kisah Perjuangannya di Perang Padri

Tuanku Imam Bonjol adalah seorang ulama, pemimpin, dan pejuang yang turut berperang melawan belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri tahun 1803-1838. Ia lahir di i Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat, Indonesia 1 Januari 1772. Dan wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotta, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864.

Putra dari pasangan Bayanuddin Shahab (ayah) dan Hamatun (ibu) ini, bernama asli Muhammad Shahab. Ayahnya, Khatib Bayanuddin Shahab, merupakan seorang alim ulama yang berasal dari Sungai Rimbang.

Kisah Tuanku Imam Bonjol di Perang Padri

Melansir dari laman resmi Kabupaten Banjarnegara, Tuanku Imam Bonjol adalah seorang pahlawan yang dikenal berjuang di Perang Padri. Perang tersebut terjadi selama 18 tahun dan meninggalkan luka bagi orang Minang dan Mandailing atau Batak pada umumnya.

Perang ini terjadi karena keinginan di kalangan pemimpin ulama di kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah (Sunni) yang berpegang teguh pada Al-Qur’an dan sunnah-sunnah Rasullullah shalallahu ‘alaihi wasallam.

Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam (bid’ah).

Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri (Penamaan bagi kaum ulama) dengan kaum adat. Seiring itu di beberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan pada akhirnya Kaum Padri di bawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubuk Jambi.

Di tanggal 21 Februari 1821, kaum Adat kemudian bekerja sama dengan pemerintahan Hindia Belanda. Berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang. Dari hasil perjanjian tersebut Belanda mendapatkan kompensasi atas penguasaan wilayah di pedalaman Minangkabau.

Akibat hasil perjanjian tersebut, pasukan padri melawan dengan tangguh. Kesulitan melawan pasukan Padri, Belanda melalui Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang pada tahun 1824.

Terjadi perubahan perang pada tahun 1833 dimana perang berubah menjadi antara kaum Adat dan kaum Paderi melawan Belanda. Kedua pihak bahu membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda.

Semakin lama Belanda semakin kuat dalam Perang Padri hingga pada Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol menyerah kepada Belanda. Menyerahnya Imam Bonjol diikut serta dengan kesepakatan bahwa anaknya yang ikut bertempur selama ini, Naali Sutan Chaniago, diangkat sebagai pejabat kolonial Belanda.

Beliau dibuang ke Cianjur, kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotta, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itu ia meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Kemudian dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut.

Atas jasa-jasanya dalam Perang Paderi, Tuanku Imam Bonjol diapresiasi atas jasa kepahlawanannya dalam melawan penjajahan. Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6 November 1973.

Laksamana Yi Sun-Shin: Laksamana Agung Bangsa Korea

Laksamana Yi Sun-Shin: Laksamana Agung Bangsa Korea

Laksamana Yi Sun-Shin: Laksamana Agung Bangsa Korea

“Apabila kita dilahirkan di dunia, kita hanya ada dua pilihan. Sama ada melakukan yang terbaik untuk berkhidmat penuh setia demi negara sekiranya peluang itu dikurniakan di depan mata, atau hanya sekadar membajak di kebun.” (Yi Sun-Shin, tahun 1576)

Laksamana Yi Sun-Shin – Dedikasi yang ditunjukkan oleh lelaki ini terhadap negara yang dicintainya tiada tandingannya. Dan, pengorbanannya ini pun demi menjaga tanah air wajar di dendangkan.

Berikut adalah kisah tentang Yi Sun-Shin, laksamana agung Joseon yang penuh kaliber, taat dan berdedikasi dalam menjaga negaranya daripada ancaman penceroboh.

1. Masa Kecil

Yi lahir pada 28 April 1545 di Jalan Geoncheon-dong, Hanseong (kini Seoul, ibu kota Korea Selatan), dan berasal dari keluarga bangsawan Klan Deoksu Yi. Saat kecil, Yi sering bermain perang-perangan dengan anak sebayanya.

Dalam usia yang masih sangat belia, dia sudah menunjukkan talenta kepemimpinan mumpuni. Kemudian saat remaja, dia sudah bisa membentuk busur maupun anak panah sesuai dengan yang dikehendakinya. Yi juga menjadi siswa yang pintar di membaca dan menulis Hanmun.

2. Karir Militer

Pada 1576, Yi lulus dari gwageo atau ujian. Konon, dia memukau para pengujinya ketika ujian memanah. Namun, Yi mematahkan kakinya ketika mengikuti ujian kavaleri. Setelah lulus, Yi ditempatkan di Bukbyeong (Pasukan Garis Depan Utara) yang berlokasi di Provinsi Hamgyeong.

Saat itu, Yi merupakan perwira junior berusia 32 tahun. Meski begitu, dia telah menunjukkan kemampuan memimpin hebat ketika bertahan melawan kawanan perampok Jurchen.

Bahkan pada 1583, dia menangkap pemimpinnya, Mu Pai Nai. Sayangnya, kegemilangan Yi malah menimbulkan kecemburuan dari atasannya. Dipimpin Jenderal Yi Il, terdapat sebuah teori konspirasi yang menuduh Yi melakukan desersi. Yi segera dicopot dari pangkatnya, disiksa, dan kemudian dipenjara sebelum dibebaskan.

Bebas, dia masih diizinkan bergabung sebagai prajurit tamtama. Namun, kecemerlangan Yi membuatnya kembali naik pangkat. Dia dipromosikan sebagai Komandan Hunryeonwon (pusat pendidikan militer), kemudian dipindah sebagai hakim militer.

Performanya membuatnya diganjar promosi sebagai Komandan Provinsi Jeolla, Komandan Garnisun Wando, maupun Komandan Distrik Angkatan Laut Jeolla Kiri. Jabatan terakhir yang diembannya adalah komandan di Yeosu pada 13 Maret 1591. Meski tak punya dasar AL, Yi mampu membentuk armada tangguh yang dipakai membendung Jepang.

3. Invasi Jepang dan Kegemilangan Yi

Pada 23 Mei 1592, daimyo (tuan tanah besar) epang era Sengoku, Toyotomi Hideyoshi, mengerahkan bala tentaranya dan menghantam Semenanjung Korea.

Dan pada saat itu, sasarannya adalah Korea yang di perintah Dinasti Joseon dan China yang berada dalam kekuasaan Dinasti Ming. Korea berusaha membendung Jepang dengan kekuatan lautnya.

Disinilah nama Yi menjadi termasyhur. Dengan total, memenangkan 23 perang melawan AL Jepang. Di antara kisahnya yang terkenal adalah Perang Myeongnyang dan Pertempuran Pulau Hansan.

Ketika pasukan Toyotomi menyerang Busan, Yi segera memberangkatkan armadanya dari markas mereka di Yeosu. Meski berpengalaman dalam pertempuran laut, Yi memperoleh banyak kemenangan.

Di antaranya adalah pertempuran Okpo dan Pertempuran Sacheon yang membuat para jenderal Negeri “Matahari Terbit” mulai khawatir akan ancaman di perairan.

Hideyoshi kemudian menambah jumlah armada kapal perang menjadi 1.700 unit setelah gagal menyewa kapal galleon Portugis demi mengamankan dominasi laut.

Meski kalah jumlah, Yi tetap bisa mengusir AL Jepang. Terdaapt sejumlah alasan. Di antaranya Yi rajin mengecek kesiapan pasukannya dan melakukan perubahan sesuai kebutuhan.

Kemudian dia juga membangun Geobukseon atau Kapal Kura-kura. Dia juga pintar memanfaatkan kawasan pantai selatan Korea, laut pasang, hingga terusan sempit sebagai senjatanya.

Prestasinya itu pun membuatnya diganjar titel Samdo Sugun Tongjesa atau Komandan Angkatan Laut 3 Provinsi. Gelar yang dipakai para komandan AL Korea hingga 1896.

4. Pertempuran Noryang dan Kematian

Pada 15 Desember 1598, armada Jepang di bawah pimpinan Shimazu Yoshihiro Teluk Sachon yang berlokasi di timur Terusan Noryang. Kedatangannya sudah diketahui Yi.

Berbekal 82 Panokseon (kapal cepat), 8.000 pasukan, dibantu dengan 7.600 pasukan Ming dibawah kendali Laksamana Chen Lin, mereka pun menghantam Jepang.

Peperangan yang terjadi pada 16 Desember 1598 pukul 12.00 dini hari itu memberikan kemenangan bagi pasukan gabungan Joseon dan Ming, serta membuat Jepang mundur.

Saat Jepang mundur itulah, Yi memerintahkan pengejaran. Nahas, sebuah peluru yang ditembakkan pasukan Jepang mengenai ketiak kiri dan membuatnya menderita luka fatal.

“Perang ini tengah mencapai puncaknya. Tabuhlah genderang perangku, dan jangan sekali-kali mengabarkan kematianku,” begitulah ucapan dari Laksamana Yi sebelum meninggal.

Jenazah Yi sempat ditaruh di kabin kapal dengan Yi Wan, sang keponakan, mengenakan baju zirah pamannya dan menabuh genderang perang guna memberi semangat.

Jenazah sang panglima laut itu lalu dibawa ke kampung halamannya di Asan untuk dimakamkan di sebelah ayahnya, Yi Jeong. Kuil pun dibangun untuk menghormatinya.

Sejarah Singkat Hari Pendidikan Nasional

Sejarah Singkat Hari Pendidikan Nasional

Sejarah Singkat Hari Pendidikan Nasional

Hari Pendidikan Nasional – Tanggal 2 Mei selalu di peringati sebagai Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS).

Mengapa 2 Mei Diperingati Sebagai Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS)?

Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS) adalah hari nasional yang ditetapkan pemerintah yang diperingati setiap tanggal 2 Mei. Tanggal ini di pilih karena sekaligus untuk memperingati kelahiran Ki Hadjar Dewantara sebagai tokoh pelopor pendidikan dan pendiri lembaga pendidikan Taman Siswa di Indonesia.

Berkat jasa, perjuangan dan kepedulian Ki Hajar Dewantara kepada kualitas pendidikan Indonesia, hingga saat ini telah banyak anak-anak penerus bangsa yang bisa merasakan duduk di bangku sekolah.

Meskipun masih banyak sistem pendidikan di Indonesia yang harus dibenahi.

Berikut ini sejarah singkat hari Pendidikan Nasional yang penting untuk diketahui sebagai penghormatan terhadap pendidikan dan pahlawan nasional.

Sejarah Singkat Hari Pendidikan Nasional

Meskipun HARDIKNAS bukan hari libur nasional, tapi perayaan ini di rayakan di Indonesia secara luas di Indonesia.

Perayaannya biasanya ditandai dengan pelaksanaan upacara bendera di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, dari tingkat kecamatan hingga pusat, disertai dengan penyampaian pidato bertema pendidikan oleh pejabat terkait.

Ki Hadjar Dewantara berperan penting dalam kemajuan pendidikan di Indonesia. Ia mendirikan Perguruan Taman Siswa yang menjadi tempat bagi penduduk pribumi biasa agar dapat menikmati pendidikan yang sama dengan orang-orang dari kasta yang lebih tinggi.

Hal ini dikarenakan pada masa penjajahan Belanda. Pendidikan adalah hal yang sangat langka dan hanya untuk orang terpandang (keluarga priyayi) dan orang asli Belanda yang diperbolehkan untuk mendapatkan pendidikan.

Beliau juga terkenal dengan tulisannya yang menyebabkan beliau sering terlibat dalam masalah dengan Belanda. Hal ini di karenakan tulisan beliau yang tajam dan kritikan yang di tujukan terhadap Belanda.

Tulisannya yang terkenal adalah Als Ik Eens Nederlander Was yang berarti Seandainya Saya Orang Belanda. Menurut beberapa sumber, artikel tersebut cukup membuat marah penguasa kolonial. Dan beliau pun akhirnya diasingkan ke Pulau Bangka oleh pihak Belanda.

Maka dari itu, untuk menghormati jasa-jasanya terhadap dunia pendidikan nasional, pemerintah Indonesia menetapkan hari lahir Ki Hajar Dewantara sebagai peringatan hari Pendidikan Nasional. Hari Nasional tersebut diputuskan berdasarkan Keppres No. 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959.

Artikel Yang Di Tulis Ki Hajar Dewantara

Dikutip dari buku Cinta Pahlawan Nasional Indonesia oleh Pranadipta Mahawira, bunyi artikel tersebut yaitu:

“Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikit pun.”

Demikian tadi ulasan mengenai sejarah HARDIKNAS yang diperingati untuk mengenang jasa Ki Hajar Dewantara dalan dunia pendidikan Indonesia. Semoga menambah wawasan dan rasa cinta kita terhadap bangsa.

Pahlawan Nasional Wanita Indonesia Yang Patut Di Teladani

Pahlawan Nasional Wanita Indonesia Yang Patut Di Teladani

Pahlawan Nasional Wanita Indonesia – Berbicara tentang kemerdekaan Republik Indonesia, tidak lengkap tanpa menyebut nama-nama pahlawan nasional yang telah berjuang untuk melawan penjajahan baik pria maupun wanita. Tanpa jasa-jasa mereka, ada kemungkinan tidak ada Indonesia yang seperti saat ini.

Tidak hanya laki-laki, ada banyak pahlawan wanita yang ikut serta memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Pahlawan yang pemberani ini pun datang dari berbagai penjuruh di tanah air.

Berikut beberapa pahlawan nasional wanita Indonesia yang perlu kamu ketahui!

1. Cut Nyak Dhien

Pahlawan Nasional Wanita Indonesia Yang Patut Di Teladani

Cut Nyak Dhien merupakan sosok perempuan yang berperan penting dalam perjuangan rakyat Aceh melawan penjajah. Di sebutkan bahwa Cut Nyak Dhien merupakan pejuang perempuan yang turun langsung di medan perang.

Banyak pengorbanan yang diberikannya selama melawan penjajah, dan tak menjadikanya lelah dan takluk. Cut Nyak Dien merupakan pejuang yang gigih, bahkan rela masuk dan keluar hutan belantara, naik turun gunung saat usianya sudah tidak muda lagi.

Sebagai penghargaan atas perjuangannya, melalui Surat Keputusan Presiden RI No. 106/TK/1964, ia dinobatkan sebagai pahlawan Indonesia.

2. R.A. Kartini

Mungkin nama pahlawan yang satu ini sudah tidak asing lagi di telinga anda, ya, dia adalah R.A. Kartini. Hari lahirnya bahkan di jadikan hari libur nasional. Perjuangannya untuk menyetarakan derajat perempuan, membuat namanya selalu di kenang.

Raden Ajeng Kartini atau Raden Ayu Kartini lahir di Jepara pada 21 April 1897. Kartini lahir dari keluarga ningrat, dimana ayahnya yang seorang Bupati dan ibunya merupakan priyayi yang di hormati.

Sebagai perempuan yang terlahir dari keluarga terpelajar, Kartini mendapatkan kesempatan untuk belajar dan berkenalan bersama banyak wanita di Eropa sana. Kartini pun sangat kagum akan pola berpikir wanita-wanita di Eropa sana.

Dari sanalah Kartini mempunyai satu keinginan untuk memajukan perempuan pribumi, yang mana di saat itu berada pasa status sosial yang rendah. Kartini kemudian berjuang agar status sosial perempuan Tanah Air bisa setara dengan kaum laki-laki di masa itu.

Berkat perjuangannya itu, R.A. Kartini disebut sebagai pahlawan emansipasi wanita. Dia juga menjadi pahlawan kemerdekaan nasional melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 108 Tahun 1964 yang dikeluarkan pada 2 Mei 1964.

3. Dewi Sartika

Nama Pahlawan selanjutnya adalah Dewi Sartika. Dewi Sartika merupakan anak dari Patih Bandung, Raden Rangga Somanagara yang lahir pada 4 Desember 1884. Beliau merupakan pahlawan pendidikan dari tanah Sunda.

Sebagai anak seorang yang terpandang, Dewi Sartika mendapat kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Sebuah kesempatan yang sangat istimewa yang tidak bisa di miliki anak perempuan lain di masa itu.

Dewi Sartika merupakan sosok perempuan yang cerdas dan kritis. Kecerdasannya itu pun tak membuatnya berbesar kepala, ia bahkan membagikan ilmunya kepada anak gadis yang berada di sekitarnya.

Dikabarkan Dewi Sartika membuka kegiatan belajar mengajar yang kemudian terdengar sampai ke telinga pemerintah. Hingga akhirnya ia diberikan izin untuk mendirikan Sekolah Istri yang menjadi tempat Ia berbagi ilmu.

4. Martha Christina Tiahahu

Dikutip dari buku Maluku Manise, Martha Christina Tiahahu merupakan pahlawan wanita Indonesia yang berasal dari Pulau Nusalaut.

Martha Christina lahir di Desa Abubu, Pulau Nusalaut. Ayahnya merupakan seorang kapitan yang berperan dalam perjuangan Pattimura. Pahlawan wanita cantik ini telah berjuang di usianya yang masih sangat muda, yakni 17 tahun.

Martha hadir dalam pertemuan di Saparua yang menjadi awal perlawanan rakyat Maluku terhadap Belanda. Pahlawan wanita ini juga ikut serta dalam perang Pattimura.

Dia bertekad untuk berjuang membela bangsa, walaupun nyawanya menjadi taruhan. Keberaniannya patut menjadi teladan. Namanya kini dikenal sebagai pahlawan perempuan yang melegenda, melalui SK Presiden RI No. 012/TK/Th 1969.

Itulah beberapa nama pahlawan Nasional Wanita Indonesia yang patut di teladani.

Dan  masih ada banyak lagi pahlawan wanita lain yang berjuang untuk bangsa ini. Namun pada kesempatan kali ini kami hanya merangkum beberapa kisah dari pejuang wanita sebagai sumber inspirasi.